Archive for Juni 2016

  • Kematian menurut Abhidhamma

    0
    Hasil gambar untuk kematian

    BAB I

    PENDAHULUAN


    A.    Latar Belakang

    Secara umum kematian merupakan hak yang wajar, Kematian tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, dan tidak ada yang mampu menghindarinya. Masalah kematian membebani manusia dari awal kelahirannya sebagaimana diungkapkan filsuf Martin Heidegger (1889-1976) setelah seseorang lahir, tumbuh menjadi remaja, tua, sakit dan pada akhirnya mengalami kematian (dalam buku Priastana, 2000:177).

    Kematian dialami oleh semua orang di dunia ini, tidak ada yang tidak mengalami kematian. Kematian datang kapan saja dan dimana saja. Seseorang tidaak dapat terhindar dari kematian. Dalam agama buddha terdapat banyak perspektif tentang kematian, baik di dalam sutta, abhidhamma dan khotbah-khotbah sang buddha lainnya. Dalam
    Anguttara Nikaya IV,184 ada empat jenis manusia yang takut dan gentar akan kematian, antara lain:

    1.      Orang yang tidak bebas dari nafsu kesenangan indera

    2.      Orang yang tidak bebas dari nafsu terhadap tubuh

    3.      Orang yang tidak melakukan yang bajik dan bermanfaat, tetapi melakukan yang jahat, kejam dan buruk

    4.      Orang yang bingung dan ragu terhadap Dhamma

    Jadi, menurut ajaran Buddha selama manusia masih melekat kepada kesenangan indera dan tubuh, banyak melakukan kejahatan serta ragu-ragu terhadap Realitas Kebenaran (Dhamma) ketika akan meninggal akan dihantui oleh ketakutan.

    Sedangkan, Konsep keaatian menurut abhidhamma adalah Manusia terdiri dari kombinasi antara jasmani dan batin (nama/rupa), hubungan jasmani dan batin bagaikan hubungan erat antara bunga dan bau. jasmani sebagai bunga dan bau sebagai batin.sedangkan kematian hanya merupakan pemisahan antara dua faktor ini. Jika kombinasi jasmani dan batin terpisah, jasmani dan batin tidak lenyap, jasmani akan berproses manjadi lapuk, jasmani atau materi akan terurai menjadi zat padat , cair, dan gas.

    Dalam kehidupan sehari-hari kita lebih menekankan konsep kematian menurut abhidhamma. Kerena, adhidhamma mengkaji diri sendiri. Pengkajian diri sendiri dalam abdidhamma sangat bermanfaat untuk diketahui supaya dalam kita melakukan sesuatu dapat mengerti bagaimana cara kerja dari indra-indra yang bekerja di dalam badan jasmani ini.
     

    a.      Pengertian Kematian

    Kematian atau ajal  adalah akhir dari kehidupan, ketiadaan nyawa dalam organisme biologis. Semua makhluk hidup pada akhirnya akan mati secara permanen, baik karena penyebab alami seperti penyakit atau karena penyebab tidak alami seperti kecelakaan, dan setelah kematian, tubuh makhluk hidup mengalami pembusukan.

    Kematian adalah hilangnya nyawa atau tidak hidup lagi, karena disebabkan oleh penyakit disentri (KBBI, 2001:724). Kematian tidak lain dari keadaan tubuh, beristirahat sekian lama, dari satu lingkaran kehidupan yang berjalan terus dalam waktu yang begitu lama dengan tenaga karma yang masih bekerja (Narada dan Vajirama, 1934:36). Istilah lain yang sering digunakan adalah meninggal, wafat, tewas, atau mati.

    Kematian yaitu terhentinya pernafasan. Definisi ini pernah diakui serta diterima oleh masyarakat umum, kalangan medis dan kaum agamawan di Barat. Definisi kematian dalam Agama Buddha tidak hanya ditentukan dari unsur-unsur jasmaniah (paru-paru, jantung ataupun otak). Tidak berfungsinya ketiga organ tubuh yaitu paru-paru, jantung dan otak hanya merupakan gejala ‘akibat atau pertanda’ yang tampak dari kematian. (Sanjivaputta, tanpa tahun:II-1-6)

    Menurut YM. Nyanatiloka2, kematian biasanya disebut “lenyapnya indera vital terbatas pada satu kehidupan tunggal, dan bersamaan dengan fisik-kesadaran proses kehidupan yang umumnya disebut ‘Manusia, Binatang, Kepribadian, Ego’, dan seterusnya. Dengan kata lain sesungguhnya kematian adalah peleburan dan pelenyapan dari setiap kombinasi mental-fisik sesaat yang terjadi berulang kali, dan karenanya terjadi pada setiap saat.”

                Kematian merupakan suatu misteri kehidupan yang telah menyelimuti umat manusia sejak dahulu kala. Namun, bukti nyata atas asal-mula kehadirannya hingga kini masih belum tersingkap. Tidak ada seorang pun yang tahu secara pasti sejak kapan manusia mengalami kematian, dan mengapa harus mati. Yang ada dan berkembang di masyarakat hanyalah ‘mitos’ yang sukar dibuktikan kebenarannya. Mitos bukanlah suatu kenyataan bersejarah (historical evidence). Mitos adalah cerita suatu bangsa tentang Makhluk Adiinsani (pencipta, dewa dan sebagainya) yang mengandung penafsiran tentang asal-usul semesta alam, binatang, manusia, atau bangsa itu sendiri, yang kebanyakannya berbumbu kegaiban.

    Menurut mitos yang dipercayai oleh orang-orang Zulu di Afrika, pada awalnya Tuhan Pencipta yang dikenal sebagai Unkulunkulu sepakat untuk menganugerahi manusia dengan kekekalan (immortality). Kemudian diutus-Nyalah seekor bunglon untuk mengabarkan berita ini kepada manusia bahwa manusia tidak akan mengenal segala bentuk penderitaan penyakit, ketuaan, dan kematian. Mereka akan hidup dalam kebahagiaan yang abadi. Bunglon itu berjalan sangat lamban, dan sering berhenti untuk mencari makanan sehingga berita ini belum juga sampai ke manusia. Entah karena alasan apa, Unkulunkulu kemudian berganti pikiran. Diutus-Nyalah seekor kadal untuk mengabarkan kepada manusia bahwa mereka akan mengalami kematian. Walaupun berangkat belakangan, kadal ini sampai ke tempat tujuan lebih dahulu. Berita tentang kematian diterima dengan pasrah oleh manusia. Bunglon yang lamban akhirnya sampai juga, namun beritanya (tentang kekekalan) yang bertolak-belakang dengan apa yang disampaikan oleh kadal tidak dipercayai oleh manusia.

    Sejak saat itulah, manusia mengalami kematian. Kegagalan manusia dalam menikmati kehidupan yang kekal bukanlah disebabkan oleh kesalahan manusia itu sendiri, melainkan semata-mata karena kelalaian seekor binatang yang menyampaikan berita Tuhan.

    Namun menurut pandangan Agama Buddha, Dalam Kitab Milinda Pañhâ, Nâgasena Thera secara tegas menolak adanya roh (soul) dalam pernafasan. Penolakan ini diungkapkan oleh beliau kepada seorang menteri utusan Raja Milinda yang bernama Anantakâya. “Siapa gerangan Nâgasena itu,” tanya Anantakâya untuk memancing perdebatan. Nâgasena Thera tidak menjawab pertanyaan ini secara langsung, tetapi justru balik bertanya: “Dalam pengertian Anda, siapakah Nâgasena itu?” Mulailah Anantakâya menyajikan pandangan sesatnya, “Roh, pernafasan masuk dan keluar, itulah yang saya maksud sebagai Nâgasena.” Nâgasena bertanya lebih lanjut: “Bagaimana seandainya nafas yang keluar dari tubuh tidak masuk kembali; apakah orang itu akan mati atau masih hidup?” Anantakâya menjawab, “Jika nafas yang keluar dari tubuh tidak masuk kembali, orang itu niscaya akan mati.” Nâgasena Thera menyanggah pendapat ini dengan membuat suatu perumpamaan yang gamblang: “Para peniup sangkalala atau terompet –yang sewaktu meniup sangkalala atau terompet, nafas yang terhembuskan tidak masuk kembali ke dalam tubuh–; mengapa mereka tidak mati?” Anantakâya berdiam diri karena tidak mampu menjawab pertanyaan ini. Nâgasena Thera kemudian mewejangkan: “Tidak ada roh dalam pernafasan. Nafas keluar dan nafas masuk semata-mata hanyalah salah satu bagian dari kegiatan jasmaniah (kâyasaõkhâra).

    Pernafasan adalah unsur udara (vâyodhâtu) yang menghidupi tubuh jasmaniah; bukan kehidupan itu sendiri. Kehidupan itu terdiri atas lima kelompok, yakni: materi/bentuk, perasaan, ingatan, corak-corak batiniah, dan kesadaran. Pernafasan hanyalah salah satu bagian dari materi/bentuk (rûpa).”

    Sehingga  definisi kematian dalam Agama Buddha tidak hanya sekadar ditentukan dari unsur-unsur jasmaniah yaitu paru-paru, jantung ataupun otak. Ketakberfungsian ketiga organ tubuh itu hanya merupakan ‘gejala’,
    ‘akibat’ atau ‘pertanda’ yang tampak dari kematian, bukan kematian itu sendiri. Faktor terpenting yang menentukan kematian ialah unsur-unsur batiniah suatu makhluk hidup. Walaupun organ-organ tertentu masih dapat berfungsi sebagaimana layaknya secara alamiah ataupun melalui bantuan peralatan medis, seseorang dapat dikatakan mati apabila kesadaran ajal (cuticitta) telah muncul dalam dirinya. Begitu muncul sesaat, kesadaran ajal akan langsung padam. Kepadaman kesadaran ajal merupakan ‘the point of no return’ bagi suatu makhluk dalam kehidupan ini. Pada unsur-unsur jasmaniah, kematian ditandai dengan terputusnya kemampuan hidup (jîvitindriya).  Jadi kematian atau marana adalah terputusnya kemampuan hidup dari suatu makhluk (Vism.229).

    Kematian mirip kerusakan bola lampu listrik. Cahaya lampu telah padam, tetapi aliran listrik tetap mengalir. Bila bola lampu baru dipasang akan mengeluarkan cahaya. Serupa itu terdapat pula kelangsungan aliran hidup. Kematian merupakan proses hancurnya kesatuan jasmani dan rohani dari satu periode kehidupan. Berakhirnya satu periode kehidupan diikuti langsung dengan awal periode kehidupan lain. Kematian bagi seseorang bukanlah peristiwa yang pertama. Semua makhluk telah berulang kali mengalami kematian (Mukti, 1993:167-168).

     

    b.      Macam-macam kematian

    Ada tiga jenis kematian dalam Agama Budha, yaitu;

    1.      kematian atau kepadaman unsur-unsur batiniah dan jasmaniah atau khanika-marana,

    2.       kematian makhluk hidup berdasarkan kesepakatan umum yang dipakai oleh masyarakat dunia atau sammuti-marana,

    3.      Kematian mutlak yang merupakan terputusnya daur penderitaan para Arahanta atau samuccheda-marana (Sanjivaputta, tanpa tahun:II-5).

    Buddha Gotama mengajarkan bahwa kematian pada dasarnya diakibatkan oleh empat macam sebab;

    a.       Kematian disebabkan habisnya usia atau ayukkhaya-marana, yaitu kematian yang disebabkan usia tua, atau setelah mencapai batas usia rata-rata.

    b.      Kematian disebabkan habisnya karma atau kammakkhaya-marana, dimaksudkan orang yang mati dalam usia muda, masih bayi atau kanak-kanak, masih bujang atau gadis, yang belum sempat mencapai batas usia.

    c.       Kematian yang disebabkan habisnya usia dan karma atau ubhayakkhaya-marana, yaitu kematian yang dialami oleh seseorang karena batas usia dan karma tepat waktunya telah habis.

    d.      Kematian disebabkan oleh gangguan lain atau upacchedaka-marana, yaitu. kematian yang belum habis masa usia dan karmanya. Kematian ini disebabkan karena bencana, seperti; kena tembak, tertabrak mobil, tenggelam, diterkam binatang, kelaparan, kehausan, kena penyakit menular, dan lain-lain (Kaharudin, 1991:101-103).

    Empat sebab kematian ini dapat diumpamakan seperti empat sebab kepadaman pelita, yaitu karena habisnya sumbu, habisnya bahan bakar, habisnya sumbu serta bahan bakar, dan karena tertiup angin.

    Menurut Buddhisme Theravada, sesorang dapat dikatakan mati apabila kesadaran ajal (cuticitta) telah muncul dalam diri seseorang. Kemunculan kesadaran ajal tersebut hanya sesaat dan kemudian langsung padam. Faktor fisik juga diakui berperan dan disebutkan bahwa kematian ditandai dengan terputusnya kemampuan untuk hidup (jivitindriya).
    Menurut Tradisi ini, ada tiga jenis kematian, yaitu:

    1.      Kematian unsur-unsur batin dan jasmani pada tiap-tiap saat akhir (bhanga)

    2.      Kematian makhluk hidup berdasarkan kesepakatan umum yang dipakai masyarakat dunia.

    3.      Kematian mutlak arahat yang merupakan akhir dari samsara.

     

    c.       Proses Kematian (marana)

    Proses kematian berbeda dengan proses berpikir dalam keadaan biasa atau normal. Proses batin, dalam hal ini yang dibicarakan adalah proses pikiran pada kematian. Proses-proses tersebut meliputi:

    a.       kesadaran pasif yaitu kesadaran belum mengenal obyek (atita bhavanga),

    b.      kesadaran yang bergetar (bhavanga calana)

    c.       kesadaran berhenti bergetar (havanga upaccheda)

    d.      kesadaran yang mengarah pada pintu indera pikiran yang merupakan ingatan dan hanya dapat dikenal melalui pikiran (manodvarajjana)

    e.       implus javana mendekati kematian yang kesadaran atau pikiran dapat mengetahui dengan jelas rangsangan yang ada (marana javana citta),

    f.       kesadaran mencatat atau merekam kesan, merupakan akibat yang muncul setelah kematian (tadalambana)

    g.      kesadarn kematian yang merupakan kesadaran terakhir pada kehidupan sekarang (cuti-citta)

    h.      proses kesadaran yang bergetar menuju kelahiran kembali pada kehidupan baru (patisandhi vinnana), (Mettadewi, 1994:64-67).

    Tiga obyek pikiran atau tanda kematian (nimitta-aramana) . Obyek-obyek atau gambaran batin yang akan muncul pada saat menjelang kematian:

    a.       Obyek karma atau kamma-arammana, yaitu ingatan pada suatu perbuatan baik atau buruk, yang pernah dilakukan seseorang sebelum meninggal.

    b.      Obyek bayangan karma atau kamma-nimitta-arammana, berarti pada orang yang dalam proses akan meninggal, yaitu suatu ingatan yang muncul dengan sendirinya dan bukan merupakan ingatan tentang sesuatu perbuatan baik atau buruk, tetapi suatu simbol dari perbuatan yang pernah dilakukan. Kamma adalah perbuatan, sedangkan nimita adalah bayangan. Demikianlah bagi seorang tukang jagal mungkin ia melihat pisau, pemabuk melihat botol, orang saleh melihat altar dan lainnya. Hal ini dilihat dengan mata batin dan bukan mata fisik.

    c.       Obyek simbol karma atau gati-nimitta-arammana, yaitu Obyek penelitian dari orang yang akan meninggal dunia dapat pula berupa simbol dari atau harapan akan tempat dimana akan terlahir kembali ke alam bahagia atau alam menderita. Misalnya, munculnya bayangan api maka orang itu akan terlahir kembali di neraka, orang yang melihat bunga yang indah akan terlahir di alam surga, melihat para dewa-dewi turun dari kayangan, melihat vihara atau candi, melihat bhikku, melihat api yang menyala besar, melihat gua yang gelap, melihat setan atau hantu, melihat binatang berkelahi, melihat pisau dan pedang (Kaharudin, 1991:104-106).

     

    d.      Proses Kognitif Menjelang-Kematian (maraṇāsanna vīthi)

    Selama momen kematian, salah satu dari kamma, mungkin kamma menjelang-kematian atau kamma kebiasaan, matang dan bermanifestasi sebagai kamma, sebuah tanda kamma, atau sebagai sebuah tanda tempat tujuan, di salah satu dari ke-enam pintu-pintu indera dari orang yang sedang sekarat. Mari kita mengambil contoh dari seorang meditator lainnya di Vihāra Hutan Pa-Auk. Meditator ini berhasil mengingat kehidupan lampaunya yang terdekat. Pada kehidupan lampaunya itu, dia adalah seekor babi ternak, yang tinggal di sebuah peternakan kecil di Burma.

    Setiap hari, sebagai sebuah tradisi, majikannya akan ber-dāna makan kepada para bhikkhu yang datang ber-piṇḍapatta. Kebanyakan dari kita mempunyai pandangan yang umum tentang hal-hal yang tidak
    mampu dilakukan oleh binatang. Akan tetapi berlawanan dengan
    5 Untuk penjelasan mengenai Proses Kognitif Menjelang-Kematian,  apa yang kita pikirkan, babi ternak ini merasa sangat senang melihat
    majikannya ber-dāna makan. Di saat kematiannya, kamma kebiasaan yang baik dengan bergembira atas kebajikan-kebajikan yang dilakukan orang lain, berbuah. Kamma kebiasaan ini menyebabkan kemunculan sebuah tanda tempat tujuan, dalam kasus ini, warna merah dari rahim seorang manusia, di proses kognitif menjelang kematian di pintu-batin yang terakhir. Tampaknya kebanyakan meditator di Vihāra Hutan Pa-Auk yang memahami kehidupan-kehidupan lampau mereka, melihat
    warna merah sebagai tanda tempat tujuan, yang mengindikasikan kelahiran-kembali sebagai seorang manusia.

     

    Awalnya kesadaran rangkaian-kehidupan (bhavaṅga) bergetar
    sebentar dan tertahan. Kemudian kesadaran yang merujuk ke pintu batin muncul dan merujuk warna merah sebagai objeknya, diikuti oleh lima javana-javana, yang dengan cepat memeriksa objek, dan mengetahui serta memahaminya.
    Biasanya javana-javana lingkup-inderawi muncul sebanyak tujuh kali.

    Tetapi selama proses kognitif menjelang kematian, javanajavana muncul hanya lima kali, dikarenakan lemahnya landasanjantung di saat kematian. Tidak seperti javana-javana umumnya, yang membawa kamma, proses javana yang terakhir ini kekurangan potensi kamma produktif aslinya, sehingga bekerja lebih sebagai perantara bagi kamma lampau yang telah matang dan telah siap untuk memproduksi kelahiran kembali. Setelah lima javana-javana ini, dua momen kesadaran - mencatat (registrasi) muncul dan lenyap
    (kadang-kadang mereka mungkin tidak muncul). Proses kognitif menjelang kematian berakhir disini. Kemudian, pikiran jatuh kembali ke arus kesadaran Bhavaṅga (dalam kasus-kasus tertentu, kesadaran Bhavaṅga mungkin tidak
    muncul). Ini diikuti oleh satu momen kesadaran kematian (cuti citta). Ini adalah kesadaran terakhir di dalam kehidupan. Kesadaran ini melakukan fungsi untuk lenyap dari eksistensi yang sekarang. Kesadaran kematian yang terbebas dari proses, ada di luar proses kognitif.

    Jadi, kesadaran kematian menggunakan sebuah objek yang berbeda dengan proses kognitif menjelang kematian. “Kematian” formalnya didefinisikan sebagai terputusnya daya-kehidupan di akhir sebuah eksistensi tunggal. Segera setelah kesadaran kematian, tanpa jedah, kesadaran-penyambung-kelahiran kembali bersama dengan faktor-faktor mental terkaitnya muncul, mengambil dan menggunakan objek yang sama dengan objek dari proses kognitif menjelang kematian di kehidupan lampau (dalam
    kasus ini, warna merah). Dari penjelasan ini, kita bisa melihat langsung bahwa kelahiran yang berikutnya tidak ditentukan oleh momen terakhir dari kesadaran kematian, dimana momen itu sendiri merupakan kesadaran resultan. Kelahiran berikutnya ditentukan oleh kamma lampau, yang menyebabkan munculnya tanda-tanda tempat tujuan (dimana dalam kasus ini, tanda tempat tujuan itu adalah warna merah), di proses kognitif menjelang kematian. Namun demikian, kamma lampau tidak harus ada hubungannya dengan timbunan kamma yang dikumpulkan di kehidupan lampau yang pertama. Itu mungkin kamma yang dilakukan dua kehidupan lampau sebelumnya, seperti halnya dalam kasus bhikkhu yang terlahir lagi sebagai seekor kutu, ataupun bahkan satu juta kehidupan lampau yang lalu.

     

    e.       Manfaat mempelajari kematian

    Kematian adalah sesuatu yang sangat alami dan wajar. Kematian hendaknya tidak ditolak, namun diterima dengan pemahaman dan pengertian yang benar. Segala yang adadi dunia ini tidaklah kekal.

    Perenungan kematian akan membuat hidup seseorang lebih berarti karena ketika memikirkan bahwa kematian sangat dekat, orang tersebut akan semakin keras berlatih dalam jalan Dhamma dan akan melakukan segala yang bisa dilakukan dengan sebaik-baiknya.“Kematian adalah untuk dipeluk, bukan untuk dihindari maupun ditakuti”

    Hakekat kematian yang tidak dipahami dengan benar, dapat menimbulkan ketakutan. Kematian dianggap sebagai sesuatu yang mengerikan sehingga pemikiran ini menimbulkan penderitaan. Apabila telah memahami hakekat kematian, akan timbul pemahaman, pengertian mengenai hakekat segala sesuatu apa adanya  yaitu tidak kekal (anicca), sulit dipertahankan (dukkha), dan tidak memiliki inti kekal (an atta) (D.ii.157).

    Barang siapa bijaksana, ia akan senantiasa merenung, bahwa kematian dengan kekuatan yang dasyat, dapat merenggut manusia setiap saat. Tidak ada tawar menawar dengan kematian serta tidak ada orang yang dapat menahan dan menolak kedatangannya (M.iii.187).

     

     


     

     
  • Copyright © - Jendela Dunia

    Jendela Dunia - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan