BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Secara umum kematian merupakan hak yang
wajar, Kematian tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, dan tidak ada
yang mampu menghindarinya. Masalah kematian membebani manusia dari awal kelahirannya
sebagaimana diungkapkan filsuf Martin Heidegger (1889-1976) setelah seseorang
lahir, tumbuh menjadi remaja, tua, sakit dan pada akhirnya mengalami kematian
(dalam buku Priastana, 2000:177).
Kematian dialami oleh semua orang di
dunia ini, tidak ada yang tidak mengalami kematian. Kematian datang kapan saja
dan dimana saja. Seseorang tidaak dapat terhindar dari kematian. Dalam agama
buddha terdapat banyak perspektif tentang kematian, baik di dalam sutta,
abhidhamma dan khotbah-khotbah sang buddha lainnya. Dalam
Anguttara Nikaya IV,184 ada empat jenis manusia yang takut dan gentar akan
kematian, antara lain:
1.
Orang
yang tidak bebas dari nafsu kesenangan indera
2.
Orang
yang tidak bebas dari nafsu terhadap tubuh
3.
Orang
yang tidak melakukan yang bajik dan bermanfaat, tetapi melakukan yang jahat,
kejam dan buruk
4.
Orang
yang bingung dan ragu terhadap Dhamma
Jadi,
menurut ajaran Buddha selama manusia masih melekat kepada kesenangan indera dan
tubuh, banyak melakukan kejahatan serta ragu-ragu terhadap Realitas Kebenaran (Dhamma)
ketika akan meninggal akan dihantui oleh ketakutan.
Sedangkan,
Konsep keaatian menurut abhidhamma adalah Manusia terdiri dari
kombinasi antara jasmani dan batin (nama/rupa), hubungan jasmani dan batin
bagaikan hubungan erat antara bunga dan bau. jasmani sebagai bunga dan bau
sebagai batin.sedangkan kematian hanya merupakan pemisahan antara dua faktor
ini. Jika kombinasi
jasmani dan batin terpisah, jasmani dan batin tidak lenyap, jasmani akan berproses manjadi
lapuk, jasmani atau materi
akan terurai menjadi zat padat , cair, dan gas.
Dalam
kehidupan sehari-hari kita lebih menekankan konsep kematian menurut abhidhamma.
Kerena, adhidhamma mengkaji diri sendiri. Pengkajian diri sendiri dalam
abdidhamma sangat bermanfaat untuk diketahui supaya dalam kita melakukan sesuatu
dapat mengerti bagaimana cara kerja dari indra-indra yang bekerja di dalam
badan jasmani ini.
a.
Pengertian
Kematian
Kematian atau
ajal
adalah akhir dari
kehidupan,
ketiadaan
nyawa dalam organisme biologis. Semua
makhluk hidup pada akhirnya akan mati secara
permanen, baik karena penyebab alami seperti
penyakit atau karena penyebab tidak alami
seperti
kecelakaan,
dan setelah kematian,
tubuh makhluk hidup mengalami
pembusukan.
Kematian adalah hilangnya nyawa atau
tidak hidup lagi, karena disebabkan oleh penyakit disentri (KBBI, 2001:724).
Kematian tidak lain dari keadaan tubuh, beristirahat sekian lama, dari satu
lingkaran kehidupan yang berjalan terus dalam waktu yang begitu lama dengan
tenaga karma yang masih bekerja (Narada dan Vajirama, 1934:36). Istilah lain
yang sering digunakan adalah meninggal, wafat, tewas,
atau mati.
Kematian yaitu terhentinya pernafasan. Definisi ini
pernah diakui serta diterima oleh masyarakat umum, kalangan medis dan kaum
agamawan di Barat. Definisi kematian dalam Agama Buddha tidak hanya ditentukan
dari unsur-unsur jasmaniah (paru-paru, jantung ataupun otak). Tidak berfungsinya
ketiga organ tubuh yaitu paru-paru, jantung dan otak hanya merupakan gejala
‘akibat atau pertanda’ yang tampak dari kematian. (Sanjivaputta, tanpa
tahun:II-1-6)
Menurut YM. Nyanatiloka2,
kematian biasanya disebut “lenyapnya indera vital terbatas pada satu kehidupan tunggal,
dan bersamaan dengan fisik-kesadaran proses kehidupan yang umumnya disebut
‘Manusia, Binatang, Kepribadian, Ego’, dan seterusnya. Dengan kata lain sesungguhnya
kematian adalah peleburan dan pelenyapan dari setiap kombinasi mental-fisik
sesaat yang terjadi berulang kali, dan karenanya terjadi pada setiap saat.”
Kematian merupakan
suatu misteri kehidupan yang telah menyelimuti umat manusia sejak dahulu kala.
Namun, bukti nyata atas asal-mula kehadirannya hingga kini masih belum tersingkap.
Tidak ada seorang pun yang tahu secara pasti sejak kapan manusia mengalami
kematian, dan mengapa harus mati. Yang ada dan berkembang di masyarakat
hanyalah ‘mitos’ yang sukar dibuktikan kebenarannya. Mitos bukanlah suatu
kenyataan bersejarah (historical evidence). Mitos adalah cerita suatu bangsa tentang
Makhluk Adiinsani (pencipta, dewa dan sebagainya) yang mengandung penafsiran tentang
asal-usul semesta alam, binatang, manusia, atau bangsa itu sendiri, yang
kebanyakannya berbumbu kegaiban.
Menurut mitos yang dipercayai oleh
orang-orang Zulu di Afrika, pada awalnya Tuhan Pencipta yang dikenal sebagai
Unkulunkulu sepakat untuk menganugerahi manusia dengan kekekalan (immortality).
Kemudian diutus-Nyalah seekor bunglon untuk mengabarkan berita ini kepada
manusia bahwa manusia tidak akan mengenal segala bentuk penderitaan penyakit,
ketuaan, dan kematian. Mereka akan hidup dalam kebahagiaan yang abadi. Bunglon
itu berjalan sangat lamban, dan sering berhenti untuk mencari makanan sehingga
berita ini belum juga sampai ke manusia. Entah karena alasan apa, Unkulunkulu
kemudian berganti pikiran. Diutus-Nyalah seekor kadal untuk mengabarkan kepada
manusia bahwa mereka akan mengalami kematian. Walaupun berangkat belakangan,
kadal ini sampai ke tempat tujuan lebih dahulu. Berita tentang kematian
diterima dengan pasrah oleh manusia. Bunglon yang lamban akhirnya sampai juga,
namun beritanya (tentang kekekalan) yang bertolak-belakang dengan apa yang
disampaikan oleh kadal tidak dipercayai oleh manusia.
Sejak saat itulah, manusia mengalami
kematian. Kegagalan manusia dalam menikmati kehidupan yang kekal bukanlah disebabkan
oleh kesalahan manusia itu sendiri, melainkan semata-mata karena kelalaian
seekor binatang yang menyampaikan berita Tuhan.
Namun menurut pandangan Agama Buddha, Dalam
Kitab Milinda Pañhâ, Nâgasena Thera secara tegas menolak adanya roh (soul)
dalam pernafasan. Penolakan ini diungkapkan oleh beliau kepada seorang menteri
utusan Raja Milinda yang bernama Anantakâya. “Siapa gerangan Nâgasena itu,”
tanya Anantakâya untuk memancing perdebatan. Nâgasena Thera tidak menjawab pertanyaan
ini secara langsung, tetapi justru balik bertanya: “Dalam pengertian Anda,
siapakah Nâgasena itu?” Mulailah Anantakâya menyajikan pandangan sesatnya,
“Roh, pernafasan masuk dan keluar, itulah yang saya maksud sebagai Nâgasena.” Nâgasena
bertanya lebih lanjut: “Bagaimana seandainya nafas yang keluar dari tubuh tidak
masuk kembali; apakah orang itu akan mati atau masih hidup?” Anantakâya
menjawab, “Jika nafas yang keluar dari tubuh tidak masuk kembali, orang itu
niscaya akan mati.” Nâgasena Thera menyanggah pendapat ini dengan membuat suatu
perumpamaan yang gamblang: “Para peniup sangkalala atau terompet –yang sewaktu
meniup sangkalala atau terompet, nafas yang terhembuskan tidak masuk kembali ke
dalam tubuh–; mengapa mereka tidak mati?” Anantakâya berdiam diri karena tidak
mampu menjawab pertanyaan ini. Nâgasena Thera kemudian mewejangkan: “Tidak ada
roh dalam pernafasan. Nafas keluar dan nafas masuk semata-mata hanyalah salah
satu bagian dari kegiatan jasmaniah (kâyasaõkhâra).
Pernafasan adalah unsur udara
(vâyodhâtu) yang menghidupi tubuh jasmaniah; bukan kehidupan itu sendiri.
Kehidupan itu terdiri atas lima kelompok, yakni: materi/bentuk, perasaan,
ingatan, corak-corak batiniah, dan kesadaran. Pernafasan hanyalah salah satu bagian
dari materi/bentuk (rûpa).”
Sehingga
definisi kematian dalam Agama Buddha tidak hanya sekadar ditentukan dari
unsur-unsur jasmaniah yaitu paru-paru, jantung ataupun otak. Ketakberfungsian
ketiga organ tubuh itu hanya merupakan ‘gejala’,
‘akibat’ atau ‘pertanda’ yang tampak dari kematian, bukan kematian
itu sendiri. Faktor terpenting yang menentukan kematian ialah unsur-unsur batiniah
suatu makhluk hidup. Walaupun organ-organ tertentu masih dapat berfungsi
sebagaimana layaknya secara alamiah ataupun melalui bantuan peralatan medis,
seseorang dapat dikatakan mati apabila kesadaran ajal (cuticitta) telah muncul
dalam dirinya. Begitu muncul sesaat, kesadaran ajal akan langsung padam.
Kepadaman kesadaran ajal merupakan ‘the point of no return’ bagi suatu makhluk
dalam kehidupan ini. Pada unsur-unsur jasmaniah, kematian ditandai dengan
terputusnya kemampuan hidup (jîvitindriya).
Jadi
kematian atau marana adalah terputusnya kemampuan hidup dari suatu makhluk
(Vism.229).
Kematian mirip kerusakan bola lampu
listrik. Cahaya lampu telah padam, tetapi aliran listrik tetap mengalir. Bila bola
lampu baru dipasang akan mengeluarkan cahaya. Serupa itu terdapat pula
kelangsungan aliran hidup. Kematian merupakan proses hancurnya kesatuan jasmani
dan rohani dari satu periode kehidupan. Berakhirnya satu periode kehidupan
diikuti langsung dengan awal periode kehidupan lain. Kematian bagi seseorang
bukanlah peristiwa yang pertama. Semua makhluk telah berulang kali mengalami
kematian (Mukti, 1993:167-168).
b.
Macam-macam
kematian
Ada
tiga jenis kematian dalam Agama Budha, yaitu;
1. kematian
atau kepadaman unsur-unsur batiniah dan jasmaniah atau khanika-marana,
2. kematian makhluk hidup berdasarkan kesepakatan
umum yang dipakai oleh masyarakat dunia atau sammuti-marana,
3. Kematian
mutlak yang merupakan terputusnya daur penderitaan para Arahanta atau samuccheda-marana
(Sanjivaputta, tanpa tahun:II-5).
Buddha Gotama mengajarkan bahwa kematian pada
dasarnya diakibatkan oleh empat macam sebab;
a. Kematian
disebabkan habisnya usia atau ayukkhaya-marana, yaitu kematian yang
disebabkan usia tua, atau setelah mencapai batas usia rata-rata.
b. Kematian
disebabkan habisnya karma atau kammakkhaya-marana, dimaksudkan orang
yang mati dalam usia muda, masih bayi atau kanak-kanak, masih bujang atau
gadis, yang belum sempat mencapai batas usia.
c. Kematian
yang disebabkan habisnya usia dan karma atau ubhayakkhaya-marana, yaitu
kematian yang dialami oleh seseorang karena batas usia dan karma tepat waktunya
telah habis.
d. Kematian
disebabkan oleh gangguan lain atau upacchedaka-marana, yaitu. kematian
yang belum habis masa usia dan karmanya. Kematian ini disebabkan karena
bencana, seperti; kena tembak, tertabrak mobil, tenggelam, diterkam binatang,
kelaparan, kehausan, kena penyakit menular, dan lain-lain (Kaharudin,
1991:101-103).
Empat sebab kematian ini dapat
diumpamakan seperti empat sebab kepadaman pelita, yaitu karena habisnya sumbu,
habisnya bahan bakar, habisnya sumbu serta bahan bakar, dan karena tertiup
angin.
Menurut Buddhisme
Theravada, sesorang dapat dikatakan mati apabila kesadaran ajal (cuticitta)
telah muncul dalam diri seseorang. Kemunculan kesadaran ajal tersebut hanya
sesaat dan kemudian langsung padam. Faktor fisik juga diakui berperan dan disebutkan
bahwa kematian ditandai dengan terputusnya kemampuan untuk hidup (jivitindriya).
Menurut Tradisi ini, ada tiga jenis kematian, yaitu:
1.
Kematian unsur-unsur batin
dan jasmani pada tiap-tiap saat akhir (bhanga)
2.
Kematian makhluk hidup
berdasarkan kesepakatan umum yang dipakai masyarakat dunia.
3.
Kematian mutlak arahat
yang merupakan akhir dari samsara.
c.
Proses Kematian (marana)
Proses kematian berbeda dengan proses
berpikir dalam keadaan biasa atau normal. Proses batin, dalam hal ini yang
dibicarakan adalah proses pikiran pada kematian. Proses-proses tersebut
meliputi:
a. kesadaran
pasif yaitu kesadaran belum mengenal obyek (atita bhavanga),
b. kesadaran
yang bergetar (bhavanga calana)
c. kesadaran
berhenti bergetar (havanga upaccheda)
d. kesadaran
yang mengarah pada pintu indera pikiran yang merupakan ingatan dan hanya dapat
dikenal melalui pikiran (manodvarajjana)
e. implus
javana mendekati kematian yang kesadaran atau pikiran dapat mengetahui dengan
jelas rangsangan yang ada (marana javana citta),
f. kesadaran
mencatat atau merekam kesan, merupakan akibat yang muncul setelah kematian (tadalambana)
g. kesadarn
kematian yang merupakan kesadaran terakhir pada kehidupan sekarang (cuti-citta)
h. proses
kesadaran yang bergetar menuju kelahiran kembali pada kehidupan baru (patisandhi
vinnana), (Mettadewi, 1994:64-67).
Tiga obyek pikiran atau tanda kematian
(nimitta-aramana) . Obyek-obyek atau gambaran batin yang akan muncul
pada saat menjelang kematian:
a. Obyek
karma atau kamma-arammana, yaitu ingatan pada suatu perbuatan
baik atau buruk, yang pernah dilakukan seseorang sebelum meninggal.
b.
Obyek bayangan karma atau kamma-nimitta-arammana,
berarti pada orang yang dalam proses akan meninggal, yaitu suatu ingatan yang
muncul dengan sendirinya dan bukan merupakan ingatan tentang sesuatu perbuatan
baik atau buruk, tetapi suatu simbol dari perbuatan yang pernah dilakukan. Kamma adalah perbuatan, sedangkan nimita adalah bayangan. Demikianlah bagi seorang tukang jagal mungkin ia
melihat pisau, pemabuk melihat botol, orang saleh melihat altar dan lainnya. Hal ini
dilihat dengan mata batin dan bukan mata fisik.
c. Obyek
simbol karma atau gati-nimitta-arammana, yaitu Obyek penelitian dari orang
yang akan meninggal dunia dapat pula berupa simbol dari atau harapan akan
tempat dimana akan terlahir kembali ke
alam bahagia atau alam menderita. Misalnya, munculnya bayangan api maka orang itu akan terlahir kembali di neraka, orang yang melihat
bunga yang indah akan terlahir di alam surga, melihat para dewa-dewi turun dari
kayangan, melihat vihara atau candi, melihat bhikku, melihat api yang menyala
besar, melihat gua yang gelap, melihat setan atau hantu, melihat binatang
berkelahi, melihat pisau dan pedang (Kaharudin, 1991:104-106).
d. Proses Kognitif Menjelang-Kematian (maraṇāsanna vīthi)
Selama momen kematian, salah satu dari kamma, mungkin kamma
menjelang-kematian atau kamma kebiasaan, matang dan bermanifestasi
sebagai kamma, sebuah tanda kamma, atau sebagai sebuah tanda
tempat tujuan, di salah satu dari ke-enam pintu-pintu indera dari orang yang
sedang sekarat. Mari kita mengambil contoh dari seorang meditator lainnya di Vihāra
Hutan Pa-Auk. Meditator ini berhasil mengingat kehidupan lampaunya yang
terdekat. Pada kehidupan lampaunya itu, dia adalah seekor babi ternak, yang
tinggal di sebuah peternakan kecil di Burma.
Setiap
hari, sebagai sebuah tradisi, majikannya akan ber-dāna makan kepada para
bhikkhu yang datang ber-piṇḍapatta. Kebanyakan dari kita
mempunyai pandangan yang umum tentang hal-hal yang tidak
mampu dilakukan oleh binatang. Akan tetapi berlawanan dengan
5 Untuk penjelasan mengenai Proses Kognitif Menjelang-Kematian, apa yang kita pikirkan, babi ternak ini
merasa sangat senang melihat
majikannya ber-dāna makan. Di saat kematiannya, kamma kebiasaan
yang baik dengan bergembira atas kebajikan-kebajikan yang dilakukan orang lain,
berbuah. Kamma kebiasaan ini menyebabkan kemunculan sebuah tanda tempat
tujuan, dalam kasus ini, warna merah dari rahim seorang manusia, di proses
kognitif menjelang kematian di pintu-batin yang terakhir. Tampaknya kebanyakan
meditator di Vihāra Hutan Pa-Auk yang memahami kehidupan-kehidupan
lampau mereka, melihat
warna merah sebagai tanda tempat tujuan, yang mengindikasikan kelahiran-kembali
sebagai seorang manusia.
Awalnya kesadaran rangkaian-kehidupan
(bhavaṅga) bergetar
sebentar dan tertahan. Kemudian kesadaran yang merujuk ke pintu batin muncul
dan merujuk warna merah sebagai objeknya, diikuti oleh lima javana-javana,
yang dengan cepat memeriksa objek, dan mengetahui serta memahaminya.
Biasanya javana-javana lingkup-inderawi muncul sebanyak tujuh kali.
Tetapi selama proses
kognitif menjelang kematian, javanajavana muncul hanya lima kali,
dikarenakan lemahnya landasanjantung di saat kematian. Tidak seperti javana-javana
umumnya, yang membawa kamma, proses javana yang terakhir ini
kekurangan potensi kamma produktif aslinya, sehingga bekerja lebih
sebagai perantara bagi kamma lampau yang telah matang dan telah siap untuk
memproduksi kelahiran kembali. Setelah lima javana-javana ini, dua momen
kesadaran - mencatat (registrasi) muncul dan lenyap
(kadang-kadang mereka mungkin tidak muncul). Proses kognitif menjelang kematian
berakhir disini. Kemudian, pikiran jatuh kembali ke arus kesadaran Bhavaṅga
(dalam kasus-kasus tertentu, kesadaran Bhavaṅga mungkin tidak
muncul). Ini diikuti oleh satu momen kesadaran kematian (cuti citta).
Ini adalah kesadaran terakhir di dalam kehidupan. Kesadaran ini melakukan
fungsi untuk lenyap dari eksistensi yang sekarang. Kesadaran kematian yang
terbebas dari proses, ada di luar proses kognitif.
Jadi, kesadaran kematian
menggunakan sebuah objek yang berbeda dengan proses kognitif menjelang
kematian. “Kematian” formalnya didefinisikan sebagai terputusnya daya-kehidupan
di akhir sebuah eksistensi tunggal. Segera setelah kesadaran kematian, tanpa
jedah, kesadaran-penyambung-kelahiran kembali bersama dengan faktor-faktor
mental terkaitnya muncul, mengambil dan menggunakan objek yang sama dengan
objek dari proses kognitif menjelang kematian di kehidupan lampau (dalam
kasus ini, warna merah). Dari penjelasan ini, kita bisa melihat langsung bahwa
kelahiran yang berikutnya tidak ditentukan oleh momen terakhir dari kesadaran kematian,
dimana momen itu sendiri merupakan kesadaran resultan. Kelahiran berikutnya
ditentukan oleh kamma lampau, yang menyebabkan munculnya tanda-tanda
tempat tujuan (dimana dalam kasus ini, tanda tempat tujuan itu adalah warna
merah), di proses kognitif menjelang kematian. Namun demikian, kamma lampau
tidak harus ada hubungannya dengan timbunan kamma yang dikumpulkan di
kehidupan lampau yang pertama. Itu mungkin kamma yang dilakukan dua
kehidupan lampau sebelumnya, seperti halnya dalam kasus bhikkhu yang
terlahir lagi sebagai seekor kutu, ataupun bahkan satu juta kehidupan lampau
yang lalu.
e.
Manfaat
mempelajari kematian
Kematian adalah sesuatu yang sangat alami dan
wajar. Kematian hendaknya tidak ditolak, namun diterima dengan pemahaman dan pengertian yang benar. Segala yang adadi dunia ini tidaklah
kekal.
Perenungan kematian akan membuat hidup seseorang
lebih berarti karena ketika memikirkan bahwa kematian
sangat dekat, orang tersebut akan semakin keras berlatih
dalam jalan Dhamma dan akan melakukan segala yang bisa dilakukan dengan sebaik-baiknya.“Kematian adalah untuk dipeluk, bukan untuk dihindari maupun ditakuti”
Hakekat kematian yang tidak dipahami dengan
benar, dapat menimbulkan ketakutan. Kematian dianggap sebagai sesuatu yang
mengerikan sehingga pemikiran ini menimbulkan penderitaan. Apabila telah
memahami hakekat kematian, akan timbul pemahaman, pengertian mengenai hakekat
segala sesuatu apa adanya yaitu tidak
kekal (anicca), sulit dipertahankan (dukkha), dan tidak memiliki
inti kekal (an atta) (D.ii.157).
Barang siapa
bijaksana, ia akan senantiasa merenung, bahwa kematian dengan kekuatan yang
dasyat, dapat merenggut manusia setiap saat. Tidak ada tawar menawar dengan
kematian serta tidak ada orang yang dapat menahan dan menolak kedatangannya
(M.iii.187).